Jumat, Juli 30, 2010

Keraguan

Seorang murid berkata kepada mursidnya..
" Mursid, saya khawatir tidak masuk surga..",
" Memangnya kamu sudah mengerjakan dosa apa ?", tanya mursid
" Setiap kali saya sholat, saya seringkali teringat mursid, bukan mengingat Allah"
"....."
" Tapi, sebenarnya mursid, saya juga berharap tidak masuk neraka karenanya..."
"...."

Senin, Desember 07, 2009

Rahmat

Kehidupan yang lestari tidak pernah mengajarkan kepada penghayatnya kemiskinan atas kebanggaan dan kesederhanaan. Hari-hari yang berlalu akhir-akhir ini membuatku semakin mampu menghayati makna kehadiran hidup. Kepedulian kecil anak-anakku semakin tumbuh bersama kesadaran semestanya yang berkembang. Walau aku agak ragu untuk menyebutkannya sebagai perkembangan semesta kediriannya, namun betapa pun kesemarakan usianya semakin menggembirakan hatiku. Kasih sayang isteriku pun semakin hari semakin mewujud dalam tata gerak hidup anak-anakku. Sebenarnya aku tak peduli benar dengan bagaimana cara isteriku membesarkan mereka. Bagiku yang penting mereka tumbuh sehat dalam pemeliharaan kami berdua, dan tentu saja beberapa tuntutan mendasar kehidupannya terpenuhi. Masa depan adalah kecerahan mereka sendiri, yang sama sekali bukan masa depan kami berdua. Kami hanya ingin menjadi pelabuhan yang terlayak bagi kehidupan mereka. Hidup yang berkelindan mestilah menjadi kenyataan yang tak nista dalam kesejarahannya. Dan itulah yang aku anggap sebagai tugas terbesar dari kehidupan.

Barangkali Tuhan tak hendak bersetia sungguh dengan keunikan. Anak-anakku mulai mengajari dirinya kebersamaannnya dengan saudara-saudaranya. Tiga orang anak yang sedikit selisih usianya, membuat tuntutan mereka pun hampir seragam. Aku kadang mensukurinya sebagai kemudahan hidup. Tak ada tuntutan macam-macam. Namun aku kadang khawatir dengan masa depan kediriannya. Apakah karena keseragaman mereka dalam menyatakan kebutuhan diri atas perkembangan membuat mereka tak bakal menemukan keunikan dirinya ? Aku bukan orang tua yang dibekali kemampuan untuk meramal masa depan manusia, sebagaimana beberapa orang yang berkemampuan khusus untuk itu. Namun kegemasanku akan diriku sendiri yang menuntut kesederhanaan pikiranku justru membuatku harus bersibuk angan dengan masa depan mereka. Dan anehnya aku tak merasa memperumit pikiranku. Aku biarkan kelana masaku mentari mereka mengembara ke ruang hati yang aku anggap terkhusuk. Ruang hati kakek Suminto.

“ Apa lagi yang membuat cucuku kemari ?” Tanya kakek Suminto penuh selidik pada suatu sore yang temaram.
“ Bukan apa-apa, kek. Namun bagaimana mungkin cucu tidak bertanya pada kakek untuk setiap ketakselarasan diri ?” aku menjawab dengan sedikit berdiplomasi.
“ Cucu ini aneh. Bila diriku yang orang tua ingin mamahami kebenaran faktual, justru cucu menjawab dengan jawaban samar. Apakah tak ada di dunia ini yang tak rahasia bagi cucuku ?”
“ Sebenarnya tak ada yang rahasia, kek. Namun ketiadaan rahasia itu bermakna diam yang tak peduli. Jadi cucu ingin memahaminya dengan pengandaian isteri cucu atas masa. Bagaimana halnya bila semua disamarkan ? Apakah bakal muncul titik pandang kepedulian baru ? Namun lagi-lagi cucu harus bertindak tidak arif, sehingga cucu merasa perlu menghadap kakek Suminto” aku berkilah
“ Kearifan itu tak pernah menjadi rahasia cucuku, selama masih mengada cahaya. Kearifan itu adalah kilau wujud yang tak pernah ingkar pada kepastiannya untuk mengembara bersama kesaksian kebenaran diri. Bisa amal diri. Bisa masa depan diri. Bisa kelindan masa keemasan. Dan semua tak pernah putus dalam rangkaian fisi-fungsi hidup yang berkehayatan. Lha, sekarang ini siapa lah kakekmu Suminto yang tua ini. Tak berperikemanusiaan atas masa depan mantu cucuku rupanya” kakek Suminto mengakhiri ucapannya dengan tawa berderai. Ringan dan renyah sebagaimana udara, mengingatkanku akan isteriku yang tak pernah berhenti sibuk dengan buah hati kami.
“ Maksud cucu, bila masa depan itu tidak jelas alurnya, mengapa kita mesti menjadi diri yang terpelabuhan atasnya ? Bukankah kemungkinan badai perusak pelabuhan membuat kita harus cerdas memahami ilmu badai ? Bukankah kemungkinan kesendirian masa tanpa siapa pun yang layak digantungi membuat kita mesti cerdas memahami watak usia ?” lagi-lagi yang meluncur dari bibirku adalah ungkapan-ungkapan samar
“ Benar cucuku. Itu benar semuanya. “ kakek Suminto menghela nafas. Sejurus diam. Kemudian beliau menyambung ucapannya
“ Masa depan itu pernah dijelaskan oleh kekinian cucuku. Namun pernah pula disamarkan oleh masa lalunya. Dan biasanya dirayu sapa oleh dirinya sendiri.” Kakek Suminto mengakhiri kalimatnya dengan nada yang misterius
“ Namun, kek, sebagaimana sungai yang pernah berpenghuni hewan dan tumbuhan air, bagaimana halnya dengan diri, masa depan dan semua situasi yang bakal ditemuinya. Apakah semua bakal lestari sebagaimana sungai menjamin kelangsungan hidup sedemikian banyak ciptaanNya ?”
“ Cucuku, sesungguhnya tak ada yang lestari dari semua masa dan suasana. Justru karena masa depan kehidupannya sendiri yang lestari. Jika semua jiwa pasti merasai mati, apakah tidak dengan suasananya ? Jika semua diri tak mungkin lepas dari semua cobaan, apakah tidak demikian dengan suasana yang mesti dirubah oleh diri penghendak kelestarian ? Semua mesti tertata dalam keselarasannya. Dan itulah rahasia rahmat. Semua diri tak pernah tak dicoba sesuai dengan kemungkinan suasana menanggung beban kelestarian berupa ketaklestarian. Manusia berusaha memelihara diri. Manusia berusaha melestarikan dirinya. Dan itu merupakan upaya yang tak pernah berhenti sepanjang jaman. Semua yang memperhatikan perubahan pernah sepakat dengan evolusi. Namun apakah benar demikian, jika sebenarnya kita tak pernah berubah secara eksistensial. Sedari dulu manusia tak mungkin berasal wujud selain manusia. Namun kehebatan Yang Maha Kuasa dalam melestarikan ciptaanNya memungkinkan manusia mengenal seluruh suasana dirinya”
“ Maksud kakek, Sedemikian rahasianyakah masa itu, sehingga kita mesti mungkin tak bersetia dengan kesendirian kita ?”
“ Benar cucuku. Perbedaan itu adalah rahasia rahmat. Namun keselarasan menjadikannya sebagai kebersamaan. Dan itu pun rahmat pula. Dan diri yang memahami keduanya dalam kemungkinan keunikan diri di tengah keduanya adalah diri yang rahmat pula. Jadi tak mungkin kita tak menyesali kesendirian tanpa memahami keindahan kebersamaan yang lestari”
“ Mengenai beban-beban semesta kelestarian itu tadi bagaimana kek ?”
“ Duh cucuku jadi seperti cicitku sekarang. “
“ Bukan demikian, kek “, aku tiba-tiba menyadari kekanakanku dan jengah dibuatnya,
“ Maksud cucuku ada yang tak mungkin cucu harapkan selain dari keberadaan eksistensi selain cucu sendiri”.
“ Ya, dan itu lah kepedulian atas kekuasaan diri yang memelihara diri. Peliharalah diri cucuku. Itu membuat cucu layak mengemban masa depan. Jika cucu abai barang sedetik saja, berarti cucu telah mengabaikan potensi kebersamaan yang lestari ke kancah bencana semesta. Dan itu tak saja cucu derita, namun bakal dirasakan oleh semua keselarasan”
“ Namun, kek , bukankah ada dan tiada itu pun keselarasan ?”
“ Tidak mungkin ketiadaan berasal dari ketiadaan. Ketiadaan berasal dari keberadaaan. Bila kemudian muncul ketiadaan, maka itu hanya merupakan tanda irama kehadiran yang memungkinkan ketiadaannya sebagai sesaat sirnanya rasa oleh kepastian. Karena bila tak demikian, maka kehadiran tak mungkin mencapai kepastian iramanya. Pastikanlah diri cucuku, dalam kekinian yang selaras. Itulah perilaku diri yang tak hendak mengkhianati semesta keberadaan dirinya”
“ Baik kek, namun bagaimana dengan angan masa itu ?“
“ Biarkanlah keindahan itu hadir sebagai keindahan, cucuku. Biasakanlah diri cucuku dalam kebiasaan keindahan menyapa dirinya sendiri. Angan adalah sebagian keindahan yang menyamarkan diri dalam keindahan pengandaian. Hidup yang tak bermasa depan tak mungkin memahaminya. Jadi pahamilah cucuku. Dan jawablah sapanya dengan pemahaman itu, tak mesti benar, namun harus selaras dan terhubung dengan fungsi diri, agar kita senantiasa waspada dan tak menjadi lupa oleh belaiannya”
“ Baik, kek. Tak banyak yang cucu pahami. Karena kakek pun tak ingin memberi lebih pada cucuku.” Aku merajuk dengan sedikit berecana atas masa
“ Oh ! Tidak demikian cucuku. Tidak demikian. Pulanglah dan segeralah larut lagi dalam kasih sayang yang biasa memelihara cucuku.”
“ Duh ! kakek tahu saja “
“ Setiap akhir dari luruh itu, adalah kebiasaan diri”
“ Baik, kek. Selamat sore, kek. Cucu mau pulang”
“ Ya, salam buat cucu mantuku dan cicit-cicitku”
“ Baik, kek, nanti saya sampaikan”

Dunia kanak memang manja. Dan aku mesti pulang kembali kepadanya, sebagai dan bersama keseharian dan masa depan anak-anakku.

Jatiwaringin, 22 Maret 2004
Supatmono, penulis lepas

Kamis, Juli 31, 2008

Harap dan Cemas


Kekakuan sore mengiringi kepenatanku sehabis kerja. Aku sangat membutuhkan suasana yang berlainan dengan kantorku. Setelah aku meletakkan tas kantorku, melihat anak-anak sebentar, aku bergegas pergi ke rumah kakek Suminto. Kerinduan dan kebutuhan mengajakku ke sana. Bertemu dengan orang tua itu membuatku menemukan kembali berbagai suasana yang lebih longgar yang menuansa dalam kehidupan. Keyakinan kadang melelahkan sebagaimana kelelahan seorang perawat menjaga kehidupan pasien-pasiennya. Aku ingin beristirahat sejenak dari semua alur hidupku yang mengeras sebagai keharusan-keharusan kemanusiaanku. Aku bayangkan sore yang lapang di tepi sungai bersama Kakek Suminto. Dan bergegas aku menuju pondoknya.
“ Selamat sore, kek !”
“ Selamat sore, cucuku. Kesegaran rupanya yang menggairahkanmu untuk hadir kemari.”
“ Kakek senantiasa saja membuat saya bertanya-tanya tentang apa pun kehadiran di segenap penjuru. Bagaimana kakek mengetahui pengharapanku ?” , aku penasaran , terkejut dan sekaligus menyerah kepada kakek Suminto yang bijak.
“ Itu tidak penting cucuku, sebagaimana semua sebutan mengiringi kehadiran. Yang terpenting adalah kehadiran wujud itu sampai tujuannya. Tugas seorang penunggu adalah memastikan apakah semua yang hadir telah menuntaskan dirinya dalam kepuasannya menuju dirinya sendiri”
“ Saya sangat penat, kek. Saya ingin bersama kakek di sini sekedar untuk menghilangkan kepenatan saya”
“ Oh !? Jika demikian, inilah saat yang tepat bagi kakek untuk bertanya kepada cucu”.
Sejurus sunyi, kakek menghela nafas. Dihembuskannya dengan, aku ragu menyebutnya, sedang dan sangat biasa. Tidak kuat hembusan nafasnya, namun bukan tak bertenaga.

“ Mengapa cucuku berharap ?”, kakek Suminto memecah kesunyian.
Tiba-tiba seperti air bah yang tak tertahan, aku berbicara. Tak menjawab namun justeru bertanya.
“ Bagaimana mungkin diri saya tak berbicara, sedang saya bermulut dan mampu bicara ? Bagaimana mungkin saya tak berpikir, sedang saya memperhatikan dan tak mungkin memelihara diri ? Bagaimana mungkin saya tak merasa, sedang saya membutuhkan daya hidup ? Bagaimana mungkin saya tak bergerak, sedang saya berhati dan memahami tujuan ?”
“ Mengapa cucuku mesti menentukan diri, padahal belum pasti semua ukuran diri ? Mengapa cucuku mesti berkejujuran, padahal cucuku tak sedang dituntut untuk bertanggung jawab ? Mengapa cucuku mesti memindahkan seluruh irama hidup, padahal cucuku tak sedang menentukan siapa yang mesti terpimpin ? Mengapa cucuku mengaras diri, padahal tiada alur sungai yang memastikan cucu menuju gelora lautan ?”
“ Bagaimana mungkin saya senantiasa memberadakan diri dalam kebimbangan, sedang saya senantiasa berada dalam keharusan ? Bagaimana mungkin saya tidak menyatakan diri, sedang saya senantiasa berada dalam kenyataan diri ? Bagaimana mungkin saya tidak memperbolehkan diri untuk bersenandung, sedang alam semesta menyatakan keharmonisannya ? Bagaimana mungkin saya terbendung, sedang saya adalah diri yang mesti menemukan kehambaan ?”
“ Mengapa cucu memihak, sedangkan semua kebebasan tak menawarkan apa pun selain kedunguan atas semua yang mungkin dipihaki ? Mengapa cucu tak menjelang siapa pun, padahal semua usia tidak mungkin meranumkan diri kecuali dalam kesempurnaan dan perlunya perubahan tradisi ? Mengapa cucu berpikir bahwa semua mungkin dipertaruhkan, sedangkan semua keberadaan tak pernah menuai lebih dari apa yang ada dalam dirinya ? Mengapa cucu berharap karam, sedang semua biduk adalah pengolah gelora ?”
“ Bagaimana mungkin saya mandiri, jika semua keterikatan wujud adalah kebanggaan diri ? Bagaimana mungkin saya berdiam diri, jika semua kebaikan diam adalah tujuanku ? Bagaimana mungkin saya tak meluruh, sedangkan semua masa adalah pemangkuku ? Bagaimana mungkin saya tak hendak pulang pada diri saya sendiri, sedangkan semua hanya pernah berkisah tentang diri ?”
“ Tidak cucuku …. Tidak demikian ….” Tiba-tiba kakek Suminto merenung rawan, kemudian matanya membening seperti semua suasana. Tak hendak aku menyia, segera aku sambungkan ucapanku
“ Mengapa kakek memilih berhenti dan diam, padahal kakek tak mungkin tak menghayati ? Mengapa kakek melambankan diri, padahal seluruh mentari menggaungkan saga cahayanya ? Mengapa kakek menghadirkan keluh, padahal sungguh itu merupakan keharusan lenyap ?”, dan aku dan mataku berkaca-kaca.

Sejurus diam . Air sungai mengalir tenang.

“ Sebenarnya, cucuku semua adalah selayak mentari yang memasungkan diri dengan rembulan. Namun jika semua kehendak yang mengawalinya adalah pertarungan, maka kelindannya adalah sesal yang sesaat. Sesal membutuhkan gelora hidup untuk melarutkan diri lagi dalam harapnya. Kecemasan adalah kehendak bagi tiadanya sesal, dan itulah pemelihara gelora diri. Namun harap yang tak hendak menyia mesti menyatakan keberadaannya, sebagaimana ketenangan diri atas semua tujuan yang telah pasti. Ada tanpa berharap, adalah kemungkinan diam yang tak berkesimpulan apa pun. Padahal hidup mengaraskan ketentuannya dalam kelemahlembutan usia yang berkesaksian. Tuhan itu tak pernah tak adil cucuku. Dan memberi adalah watak dari usia. Namun belum tentu demikian, jika kita tak berharap demikian. Dan seluruh manusia membahasakan itu semua dalam keberadaan kesempatan. Semua orang mencari kesempatan, agar merasa tidak lupa telah terberi, padahal hidup itulah kesempatan yang abadi. Di semua gerak diri, kesempatan menjadi tunai, dan engkaulah penjelangku yang terjelajah.”
Lagi-lagi aku harus dibuat kagum atas semua kehendakku. Sendu. Namun semua terjawab. Aku tak lelah lagi. Namun aku ingin pulang sebagaimana semua kewajaran mengharuskan demikian.
“ Terima kasih, kek !” setelah sekian hening menjelang kami berdua, “ Saya mau pulang, rasanya saya sudah puas “
“ Ya….mbok nanti dulu ?! Hari belum begitu larut “
“ Lha wong saya juga belum mandi, je “ sergahku sungkan
“ Wah ! kalau demikian …. Monggo nak !”
Sore . Aku semakin setia dengan sore. Bersama kakek Suminto adalah kebersamaan yang tak mungkin membuat aku lenyap di kalang bencama. Terima kasih Tuhan !